Maaf, Jumat kemarin saya kelewat. Tulisan ini untuk menebus dosa itu.
Album saya yang berjudul Burayak (2020), saya yakin kalian banyak yang ga tau, direkam saat COVID-19 sedang puncak-puncaknya. Saya ingat datang ke studio dengan masker, rekaman dengan ketakutan akan sakit yang kemudian membuat kita mati. Namun apa daya, rekaman harus dilaksanakan dan alhasil menjadi salah satu album paling kolaboratif yang pernah dibuat oleh Jono Terbakar. Album-album lainnya adalah album egois dengan murni perenungan sendiri, gamau ada orang disebelahnya, yang individualistik khas masyarakat urban #pitikih.
Ada Om Krido Bram yang mengisi cello. Saya ajak Om Bram main cello karena lagi selo (cukup berima kan?). Kemudian ada Om Kibar M. Pembela dari Kabar Burung yang mengisi trompet. Kedua nama yang saya sebut sebelumnya sama sekali tidak ada latihannya bersama. Ini semua murni partisipasi teman-teman untuk sama-sama membangun album. Improvisasi, niat tulus yang menjelma jadi bunyi-bunyi.
Yang paling menarik, bagi saya sendiri, adalah kesediaan Om Anggi, waktu itu mahasiswa UKDW Yogyakarta – calon pendeta, yang menawarkan jasa mixing-masteringnya. Tentu saya menyambut baik tawarannya, lha wong gratis. Saya tidak peduli siapa yang mixing mastering, pasti kalau ada niat disitu ada jalan tikus.
Pada suatu hari, saat sesi mixing, Om Anggi bertanya karena bingung cara utak-atik sound drumnya, “Ini track drumnya cuma 1 ya?”. Kalau teman-teman pembaca adalah musisi yang sering rekaman atau produser rekaman atau insinyur suara, biasanya akan tau bahwa standarnya drum akan diberi mic di tiap komponennya. 1 mic untuk snare drum, 1 untuk bass drum, dst.
DS Records waktu itu, melalui Mas Yuli operator kesayangan kami, memberi keleluasaan untuk eksperimen. Drum direkam menggunakan 1 mic, dan ditaruh sekitar 1-2 meter dari drumnya. Jadi yang terekam itu suara drum yang bercampur dengan suara ruangannya. Ada gema yang menarik, ada suara desah hantu yang barangkali terekam, dan tentu pantulan dari dinding tetangga yang membuat sesi rekaman saya didatangi polisi, karena ada laporan gangguan kebisingan.
Dari panjangnya cerita diatas, pesan yang mau saya sampaikan tidak ada. Musik tidak harus selalu menjadi kendaraan bagi pesan. Ia boleh bebas. Sama seperti kehidupan, yang kadang beberapa orang dipandang berbeda dan salah karena tak sama dengan yang lainnya. Yin dan yang, keseimbangan. Yang-yang-an seringnya tidak seimbang.
Pondok Cabe, 2 Juli 2024
Jono Terbakar
Foto oleh Asyam Ashari @topiputih