Dari Medan ke Berastagi, di atas angkutan Hi Ace yang saya tumpangi, tiba-tiba suara 1 petikan gitar Paul Gilbert disambut langsung dengan nyanyian serak Pat Tropey “Someone said life is for the takin”. Pikiran saya langsung tidak living on the moment, kenangan terputar kembali. Kembali jauh ke tahun 2000-an, dimana 2 anak SMP berkenalan dengan Mr. Big dari kasetnya Big, Bigger, Biggest yang dirilis pada tahun 1996.
Hari ke hari, kami coba mainkan gitaran lagu-lagunya di gitar kami. Melihat tab dari Ultimate Guitar #lawas, pelan tapi pasti kami mulai menguasai. Meskipun saat di studio yang dimainkan Blink 182, namun Mr. Big yang senantiasa dikulik sejatinya.
Lalu pada suatu hari puluhan tahun setelah itu, saya memutuskan hijrah meninggalkan teman mengulik saya. Musik haram. Saya keluar dari band dan obrolan tentang musiknya, tentu meninggalkan Mr. Big di gudang belakang dengan kunci gembok ganda.
Singkat cerita, saya kembali lagi bermain musik. Namun sayangnya, mengulik bersama tak mungkin. Kami berdua beranjak dewasa dan berkeluarga serta dikelilingi tetek bengeknya, berbeda kota dan dengan segala grow up its a trap-nya. Hingga suatu hari di Kota Kembang kami berjumpa, setelah sekian purnama. “Alat musikku sudah tak titipkan temen, tapi belum tak bakar”. Saat musik sudah halal lagi di saya, ternyata sekarang haram bagi dia.
Terimakasih perjalanan ke Berastagi, selain sejuk sekali sekaligus mengingatkanku tentang perkawanan. Serta tentang cairnya dunia ini dengan segala perubahannya, perbedaannya, dan usaha untuk saling menghargainya. Saat melewati lapak-lapak babi panggang karo (BPK) dan warung B1 (baca: asu) yang banyak berjejer di Kabupaten Karo, saya sisipkan sedikit kalimat quote di perjalanan, “teman-teman ada yang mau coba makan disitu? Insyallah haram hehe”.
Di tengahnya bertanya, “am i strong enough to walk on water?” sampai pada akhirnya hanya “goin’ where the wind blows“.
Bogor, 15 Agustus 2025
Nihan Lanisy