Komplotan yang mengokupansi daerah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bernama Jalan Batas Kota (JBK) ini tidak hanya piawai tarik ulur masalah percintaan. Band yang nyaris sebagian besar personelnya barista ini: Krisna (gitar, vokal), Balung (Drum), Abas (Bass), Patra (gitar), dan Ale (Synth) juga andal menarik ulur karya sesuka mereka. Contohnya single ‘Gadis Indie’, lagu yang dibuat pada 2017 lalu diluncurkan di tahun yang sama sekaligus video liriknya namun mendadak ditarik dengan alasan yang cukup aneh.
“Iya, pengen saja ditarik lagi. Lagu ya lagu kami nah tahun ini kami rilis lagi. Suka-suka kami lah,” kata Krisna ketika ngobrol santai di Materi Coffee senja kemarin.
Lagu yang mereplikasi bermunculannya perempuan yang suka nonton gigs ini kembali dirilis ulang Senin (1/2) malam. Bagi JBK tema lagu yang dibuat dengan skill terbatas itu masih relevan hingga saat ini. Kemunculan mereka laiknya oase di Gurun Gobi sekaligus wacana tanding untuk stereotatip negatif bahwa gigs enggak cocok untuk para perempuan.”Buat kami, bukan perkara gender. Bukan juga soal karena mereka perempuan atau apa, konteksnya di musik itu sendiri, mereka datang ke gigs yang enggak ada wangi-wanginya sama sekali, tanpa batas, dan ada citra yang tersemat bahwa perempuan sukanya datang ke konser papan atas, ternyata enggak. Bahkan ada yang sampai jadi penggiat gigs juga,” Krisna memaparkan.
Di sisi lain ketika awal lagu itu dirilis, fans mereka yang akrab disebut Rambu Batas Kota (Rambo) punya interpretasi lain. “Gadis Indie” bagi pendengar itu semacam ejekan bagi penikmat gigs khususnya perempuan yang datang dengan pakaian keren lalu lama-lama menjadi seragam. Balung, drummer JBK tak peduli dengan interpretasi lain itu.
“Kami punya interpretasi sendiri, dan merujuk Barthez, ketika karya sampai ke pendengar, seniman sudah mati. Artinya karya (cerita, interpretasi) bukan lagi milik kami. Santai saja,” tambah drummer yang juga berporfesi komikus itu.
Lagu ini sangat layak dirilis ulang meski tidak ada perubahan tata suara, penambahan instrumen, atau lirik. Bagi Patra, bakal aneh bila lagu berlirik padat, singkat, dan cepat itu dipoles lagi. Apalagi vibe yang ditawarkan lagu yang direkam di kost Ale yang dimixing mastering Kemal Akbar itu benar-benar laiknya konser, tempat di mana JBK berproses.
“Kami enggak ingat di mana pertama mainin lagu ini. Tapi responnya bagus, terus kami main lagi di di Sande Noizz dan makin gila respon orang ketika lagu itu dibawakan, rebutan mic sana-sini. Jadi anehlah kalau ditambahin apa-apa lagi,” tambah Patra.
Namun dalam peluncuran ulang ‘Gadis Indie’ kali ini, JBK turut merilis video musik yang digarap videomaker Kikiretake (Pehagengsi). Video musiknya tak banyak basa-basi. Seorang perempuan bernama Indi (Anjali Nayenggita) pulang ke studionya yang amburadul, seolah ingin menyingkir dari kebisingan sisalak kepentingan di kota, bertemu JBK di ruang visual, lalu dibawa ke pertunjukan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Di sana hanya ada bahagia, tidak ada derita atau kebisingan yang melahirkan derita.
“Di Sande Noizz juga Mas Kiki datang lalu merekam video. Katanya buat nambahin bahan video klip yang kemarin sempat dirilis untuk lomba aplikasi yang hijau-hijau itu.
Kami oke saja, terus lama berlalu kami malah sudah hampir lupa dengan video itu. Pandemi datang, sudah nyaris setahun lamanya dan tiba-tiba Mas Kiki menghubungi kami kalau video klipnya sudah mau kelar dan dirilis kapan maunya.
Kaget karena kami sudah hampir lupa,” tutup Krisna.