Long Live the Crowdsurfer!

Search
Close this search box.

SUMONAR 2019: Lampor, Kisah Legendaris Yang Terlupakan

Yogyakarta, 1 Agustus 2019 – Anjing-anjing menggonggong, burung-burung pun tak kuasa untuk tidak bersuara. Air sungai bergejolak, menandakan akan terjadi sesuatu yang sangat mengerikan di mata manusia. Bagi mereka yang peka, suara alat musik pukul akan terdengar yang diiringi oleh suara telapak kaki kuda yang sedang melakukan perjalanan bersama sebuah rombongan dari arah Selatan menuju Utara. Jika sudah seperti itu, seberapa pun beraninya seseorang pasti akan ciut dibuatnya.

Lalu, jendela itu, pintu serta manusia yang ada di luar kediamannya dengan sergap mengunci diri. Di dalam benaknya, mereka tak ingin menyaksikan kejadian yang mengerikan itu tertangkap oleh mata telanjang. Karena kata orang-orang, jika sampai manusia menyaksikan hal itu, mereka tak akan kembali lagi. Jika pun kembali, waras sudahlah tak akan ada lagi di dalam diri mereka seperti sebelumnya. Dan, hal itu coba kembali dikisahkan oleh Anung Srihadi, Ruly “Kawit” Prasetya dan Dani Argi dalam sebuah karya video mapping berjudul “Lampor”.

Karya “Lampor” sendiri mereka tampilkan pada Kamis, (1/8/2019) malam dalam festival video mapping SUMONAR 2019 bertajuk “My Place, My Time”. Selain karya dari kolaborasi dari Anung, Ruly dan Dani tersebut, dalam penyelenggaraan SUMONAR 2019 hari ke tujuh ini juga menampilkan karya video mapping dari Lepaskendali x Bazzier x Sasi berjudul “Moon & Sun”, Fanikini x Bagustikus x Kukuh Jambronk berjudul “Bias Kota”, Raymond Nogueira/Rampages, MoDAR berjudul “Timeless Dream”, dan juga karya dari Ismoyo Adhi x THMD x Wasis Tanata berjudul “Temu”.

Ruly “Kawit” Prasetya menjelaskan, dalam karya kolaborasinya bersama Anung dan Dani, mereka ingin menyampaikan tentang salah satu kisah mitos legendaris masyarakat Yogyakarta yang saat ini sudah mulai terlupakan. Ia berkisah, Lampor sendiri adalah pasukan dari laut Selatan yang melakukan perjalanan menuju Utara, yaitu Gunung Merapi. Dalam perjalanannya para pasukan tersebut selalu menggunakan jalur sungai yang membentang di Yogyakarta. Seperti Kali Code, Winongo maupun Bedog.

“Sebenarnya kisah tentang Lampor ini adalah kisah-kisah yang selalu diceritakan oleh orang-orangtua kami dulu ketika kami masih kecil. Namun saat ini, banyak dari anak muda di Yogyakarta tidak mengetahui kisah tentang Lampor yang sebetulnya merupakan cerita yang diketahui secara turun temurun. Melalui karya video mapping yang kami beri judul “Lampor” juga, kami ingin kembali mengisahkan cerita ini dengan karya yang kami harapkan akan bisa lebih mudah untuk dicerna oleh masyarakat, terutama generasi mudanya,” tutur Ruly.

Tak hanya itu, di dalam karya berdurasi sekitar empat menit tersebut, Ruly Cs memperlihatkan beberapa hal yang bermuatan kritik terhadap sesuatu yang terjadi pada sungai yang ada di Yogyakarta saat ini. Misalnya saja seperti ornamen-ornamen sampah berserakan yang mereka gambarkan di dalam karyanya. Dan hal inilah yang perlu diketahui oleh masyarakat Yogyakarta bahwa sungai bukanlah tempat untuk membuang sampah.

“Misalnya saja kita bayangkan jika Lampor itu memang ada, saat sampah dibuang sembarangan dan bermuara di laut Selatan, para “penghuni” laut Selatan pasti akan marah. Tak hanya itu, dalam kenyataannya jika memang sampah itu dibuang ke sungai, biota-biota di laut pun akan sangat terganggu keberlangsungan hidupnya. Dan kami berharap, melalui karya video mapping “Lampor” ini masyarakat yang tidak tahu tentang kisah ini menjadi tahu dan tidak melakukan sesuatu yang tidak seharusnya mereka lakukan pada sugai,” jelas Ruly.

Tambah Ruly, dalam karya “Lampor” ini mereka pun menggaet Paksi Laras Alit untuk mendramatisir karya tersebut dengan sajian audio yang mampu membuat bulu kuduk berdiri.

Kolaborasi perdana beberapa seniman

Dipertunjukan kedua karya-karya video mapping dari rangkaian SUMONAR 2019 tersebut, setidaknya disaksikan oleh ratusan pengunjung yang hadir beberapa daerah di Indonesia maupun mancanegara. Aji Wartono, salah satu pengunjung pada malam ini menuturkan, SUMONAR tidak hanya sebagai festival yang menyajikan sebuah karya seni kepada khalayak luas, namun di dalamnya terdapat kolaborasi dari beberapa disiplin ilmu maupun dari para senimannya.

“Sumonar ini adalah bukti bahwa teknologi modern itu bisa bersinergi dengan budaya yang sudah ada sebelumnya. Hal ini pun merupakan bukti bahwa generasi sekarang bisa menyikapi tradisi dengan cara mereka dengan dinamis dan kreatif. Semua yang dilakukan ini telah membawa budaya mengikuti zaman. SUMONAR harus terus lanjut dan didukung,” tutur Aji.

Raphael Donny, Ketua Jogjakarta Video Mapping Project (JVMP) menambahkan, dalam penayangan karya video mapping pada Kamis (1/8/2019) malam ini adalah momen yang dimanfaatkan oleh para seniman yang ada di JVMP untuk mempresentasikan karya-karyanya kepada khalayak luas. “Dan di kali kedua pertunjukan karya-karya video mapping di Gedung Bank Indonesia dan Kantor Pos Indonesia Yogyakarta ini, banyak seniman dan kolaboratornya yang baru pertama kali membuat karya video mapping,” tambahnya.

Selain pertunjukan video mapping, SUMONAR juga hadir dalam bentuk pameran instalasi seni cahaya yang bertempat di Loop Station dan masih terbuka untuk umum hingga tanggal 5 Agustus 2019. Agenda selanjutnya dari SUMONAR adalah Creative Sharing bersama Ican Agoesdjam, Isha Hening dan Kongfoo Motion, yang akan diadakan pada 4 Agustus 2019 di Museum Sonobudoyo. Dan pertunjukan video mapping selanjutnya dilangsungkan pada 5 Agustus 2019 di Gedung Bank Indonesia dan Kantor Pos Besar Yogyakarta sekaligus menjadi Closing Ceremony SUMONAR 2019. Informasi lebih lanjut dapat mengikuti kanal resmi di www.jogjavideomapping.com dan akun sosmed IG @sumonarfest.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles