Hanya suatu sore yang biasa saja dengan gitar klasik yang sudah lama kumiliki sejak berguru kepada Mas Rahmat Raharjo. Senar nomer 4 yang hampir putus, senar lain berkarat sudah 4 tahun tak ganti senar sepertinya. Aku memang bisa main gitar tapi masalah merawat gitar sepertinya bukan keahlianku.
Sore itu aku merasa terdesak. Ada dorongan kuat untuk membuat lagu. Maka buatlah, ini tanda semesta.
Intro digenggam sekali jalan. Sebermulanya nada petikan gitar saja. Nada intro sepertinya bisa diberi lirik, jadilah versenya. Sederhana, seperti rumah makan padang yang harganya tak sesederhana itu.
“langit yang biru memayungimu, hari yang tepat tuk mencintaimu”, lirik pertama turun dari langit yang ga biru-biru aman soalnya udah sore. Ambil HP, sambil dehem-dehem dan tulis lirik sekali jalan.
Meneriakkan dari lantai 2, “Ibu dan Anak-anak, ayah mau rekaman dulu ya”. Tutup pintu kamar dan kutaruh HP Samsung Galaxy Note 10 di atas bantal. Mic hape ini top banget menurutku, sudah untuk rekaman banyak lagu Jono Terbakar.
Bismillah, buka voice recorder dan mengetuk tombol rekam. Menyempatkan sebentar untuk buka note, liriknya belum apal wong baru bikin. Sekali take alhamdulillah selesai sesi rekaman kita.
File rekaman tadi dikirim ke WA istri, nitip bentar untuk bisa dibuka di laptop. Dari file .m4a diconvert ke .wav. Sesudahnya masukkan ke AI mastering. Tunggu bentar selesai. Tinggal diserahkan ke Jonotify dengan rilis As Soon As Possible. Eh hari berikutnya sudah rilis.
Alhamdulillah, masih bisa berkarya. Walaupun sederhana dan ada suara orang dan motor lewatnya, ini bagian nyata dari kehidupan. Masih bisa bersenang-senang dengan keterbatasan waktu, dana, dan segalanya. Ingat, keterbatasan adalah anugerah dan senjata kita, kalau semuanya ada, kita gabakal pernah berkarya lagi #sokbijak.
Ya gini aja sih karyaku. Semoga tidak suka. Cintai keluargamu, bencilah Jono Terbakar.
Bogor, 28 Mei 2025
Jono Terbakar
*foto oleh Asyam Ashari @topiputih
