Dalam sebuah lanskap musik yang sering kali lupa pada akar buminya, kehadiran Megatruh Soundsystem selalu terasa seperti sebuah peringatan yang bergema dari alam bawah sadar kolektif kita. Kini, duo Heavy Mystical Dub asal Yogyakarta itu kembali dengan single terbaru, “Palu Kuasa”, sebuah komposisi yang lebih dari sekadar lagu, melainkan sebuah pernyataan filosofis yang gelap dan wingit.
Diproduseri oleh Wok The Rock, seorang seniman kontemporer yang dikenal kerap menelurkan karya-karya konseptual, “Palu Kuasa” disuling melalui metode eksperimental yang mentransformasikannya menjadi sebuah ode pesimistis bagi kaum yang tersisih. Lagu ini bukan untuk didengar, melainkan untuk dirasakan di dalam tulang; sebuah mantra dub berat yang mengungkap kesedihan yang paling dalam dan kemarahan yang paling pasif.
Secara sonik, “Palu Kuasa” menandai evolusi yang disengaja. Ari Hamzah, sang arranger, menjelaskan bahwa perbedaan paling mencolok terletak pada pemilihan tekstur suara—drum yang menghunjam, perkusi yang menjauh, dan synthesizer yang menyayat—semuanya dibentuk di bawah arahan Wok The Rock. Hasilnya adalah sebuah soundscape yang lebih ‘heavy’, gelap, singup, dan wingit secara spiritual, dengan setia merepresentasikan slogan mereka: Heavy Mystical Dub.

Pada ranah lirik, Deni Adit, manager sekaligus penyampai pesan band, menuliskan syair yang menjadi jantung dari kegelapan ini. Syairnya adalah sebuah pengakuan bagi yang kalah, sebuah pelukan bagi yang remuk di tengah dunia yang memuja kemenangan.
“akan ada tiba masanya, suara-suara terbungkam godam akan ada tiba masanya, kebenaran terbungkus sekam bertahanlah bertahan, mendung gelap pasti datang kita semua kan meregang, tapi tidak hari ini!”
Bagi Deni, lirik ini bukan tentang menyerah, tetapi tentang keutuhan dalam ketidakutuhan. “Ini adalah pengakuan bahwa tidak semua luka harus disembuhkan. Beberapa cukup dirawat, agar kita bisa bertahan sedikit lebih lama,” ujarnya. Bagi Ari Hamzah dan Kiki Pea, “Palu Kuasa” adalah anthem yang mendesak untuk direkam—sebuah dokumentasi suara bagi mereka yang dibungkam, sebuah cara untuk membekukan perasaan dan merayakan sisa-sisa perlawanan yang kecil. “Ini jejak agar kelak, ketika amnesia kolektif menyerang, masih ada yang bersaksi,” tambah Ari.
Visual untuk single ini memperkuat rasa getirnya, menampilkan karya foto Kevin Faza yang powerful berjudul “Di tengah puing-puing penggusuran, seorang badut dari Komunitas Necis”. Foto yang diambil pada 2021 silam itu menangkap paradoks pilu: seorang badut yang hadir untuk menghibur anak-anak korban penggusuran, berdiri di atas puing-puing kehancuran. Sebuah metafora visual yang sempurna untuk ketahanan di tengah keputusasaan.