Long Live the Crowdsurfer!

Search
Close this search box.

Mocosik Festival Hari Ke 2: Buku, Musik, Kamu

Dari Puisi Hingga Komunitas Literasi

Yogyakarta – Festival Buku dan Musik MocoSik pada Sabtu, 24 Agustus 2019, memasuki hari kedua. Obrolan pembuka dimulai tepat pukul satu siang. Menampilkan dua penyair, Agus Noor dan Joko Pinurbo, obrolan yang dipandu oleh Vika Aditya itu bertajuk “Akulah Puisi, Akulah Cinta”.

Joko Pinurbo bilang, “Di depan cinta, semua orang bertekuk lutut dan setara.” Berkat obrolan dua penyair itu, cinta seakan menguar di obrolan MocoSik. Puisi cinta bagi dua penyair ini tak perlu dihindari. Karena, kata Pinurbo, sajak cinta bisa membantu memahami situasi sosial saat ini. Sebuah puisi bisa terlahir kembali di tangan membaca, asal, pembaca kreatif. Tak mesti berisi pengalaman individual, kalau pembaca kreatif, konteksnya bisa diperluas. “Puisi Chairil itu puisi cinta,” kata Pinurbo.

Namun, ditanya ihwal sastra dan peran negara, Pinurbo berkata “Kita jangan pernah berharap pada negara soal cinta, karena cinta itu antitesis kekuasaan. Buku saja disita, padahal dibacapun belum. Itu urusan kita,” tegas Jokpin.

Negara, kata Agus Noor, itu fasis. Siapa diatur, dan mengatur. “Tapi kalau cinta, siapa yang di atas yang di bawah, itu soal kesepakatan,” seloroh Noor. Tawa bergelak.

“Nasionalisme tanpa puisi,” kata Noor, “nonsense!”

Berlanjut ke sesi berkutnya. Obrolan dimulai pukul tiga sore. Memboyong narasumber Man Angga (Nosstress) dan Kharis Junandaru (Silampukau). Dipandu oleh Tomi Wibisono (Warningmagz), diskusi berlangsung sekitar dua jam.

Bagi Man Angga, kadangkala, lebih sulit menulis lirik ketimbang menulis karya sastra, seperti cerpen, novel atau bahkan esai. Karena, menurut dia, sulit memampatkan satu buku, film atau gagasan. Dalam lirik, beberapa kalimat saja mesti rampung, tak ada ruang untuk menjelaskan hal secara detail. “Tidak mungkin,” kata dia “menyanyikan 100 lembar. Kalau di buku kan mesti dijelaskan.”

Lantas, bagi Kharis Junandaru, buku memiliki peran penting bagi musisi. Ia bilang “Saya enggak mungkin bisa menulis sesuatu tanpa membaca buku.” “Si Pelanggan”, lagu yang menceritakan keruntuhan Dolly -daerah lokalisasi di Surabaya dan dihancurkan pada masa Walikota Tri Rismaharini, juga terinspirasi sajak.

Demikian kata dua musisi ini ihwal dunia musik dan semesta teks.

Di sela obrolan ihwal musik berlangsung, di tempat lain, Yura Yunita tengah berbagi pengalaman ihwal penulisan lirik lagu. Obrolan yang terbatas itu dihadiri sejumlah 15 orang.

Lantas, diskusi dilanjutkan dengan membahas peran komunitas dan kaitan terhadap suburnya kancah literasi Yogyakarta. Irwan Bajang, yang juga jebolan salah satu komunitas menulis di Sewon, Bantul, memandu jalannya diskusi empat pegiat komunitas literasi Yogyakarta. Mereka adalah; Edi Iyubenu (Kampus Fiksi), Aguk Irawan (Baitul Kilmah), Eko Prasetyo (Social Movement Institute), Muhidin M. Dahlan (Indonesia Buku), merekalah, salah satu, pilar-pilar kepenulisan Yogyakarta.

Menulis, bagi mereka, adalah menggelorakan impian. Menyuburkan narasi-narasi lain kehidupan. Seperti Aguk Irawan, yang menularkan kemampuan menulis kepada sekitar. Atau Eko Prasetyo, yang baginya, menulis adalah mempertaruhkan risiko. Atau seperti Edi Iyubenu, terus belajar menulis menjauhkan kita dari sikap merasa telah sempurna. Kalau kata Muhidin M. Dahlan, berkomunitas melebihi sekolah. Tetapi, bila komunitas tak bisa menggaransi kebahagiaan, kata Muhidin, “tinggalkan.”



Pentas Musik: Menggemakan Musisi Gaek



Pentas Musik: Menggemakan Musisi Gaek

Langit Sore membuka Panggung Musik MocoSik hari kedua. Penonton yang telah menyemut mulai memadati depan panggung. Sembari Langit Sore pentas, di lain tempat, Obrolan Musik berjalan diisi oleh para pegiat literasi Yogyakarta. Irama Langit Sore dipadupadankan rap yang lebih mirip sajak, menghiasi tiap lagu mereka. Selepas itu, Sudjiwo Tejo unjuk tampil. Seniman serba bisa ini, yang juga dikenal sebagai presiden republik jancukers, menggoyang panggung dengan beberapa nomor lagunya.

Tashoora, grup musik asal Yogyakarta, seakan tengah merekam kembali album EP mereka bertajuk “Ruang”. Tampil di sesi ketiga setelah Sudjiwo Tedjo, beberapa nomor dari album live perdana mereka mainkan, seperti “Terang” dan “Nista”. Single terbaru mereka, “Surya” yang terinspirasi Giordano Bruno -filsuf Itali yang meregang nyawa karena membantah gereja dengan berkata bahwa Bumi mengelilingi matahari- juga mereka bawakan. Tashoora juga membocorkan bakal merilis album di akhir tahun ini. “Agni”, lagu baru tersebut terinspirasi salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini yang cemar oleh kasus pelecehan seksual.

Sesuai dugaan, usai Tashoora turun panggung, selang sekitar lima belas menit, perlahan penggemar Ebiet G Ade terus saja berdatangn. Ebiet masih memiliki massa. Bagi pria yang mengawali karier dari puisi ini, musik memang tak terbayang di masa mudanya. Tempik sorai menggema ketika bait terakhir tembang “Titip Rindu Buat Ayah” dialntunkan. Beberapa lagu seperti “Camelia” dan “Elegi Esok Pagi” juga sempat dibawakan. “Berita Kepada Kawan”, barangkali menjadi salah satu lagu paling popular, berkumandang diringi sejumlah penonton sebagai penutup.

Sebagai penutup hari ketiga MocoSik, didapuklah Yura Yunita. Kemampuan Yura menggaet massa lebih besar tak diragukan lagi. Berkali-kali massa menyemut. Melantunkan tembang-tembang asmara, terdengar cocok di telinga generasi milenial.





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles