Long Live the Crowdsurfer!

Search
Close this search box.

Tualang Dalam Perjalanan Ma’rifat Jono Terbakar

Oleh: Sobehsho (Olski)

Selepas bertugas sebagai bapak rumah tangga, memandikan anak-anak, aku menyelah motorku menuju perhelatan tak lazim kawan lamaku, Jono Terbakar. Kusebut tak lazim, karena hari itu hari senin. Disaat semua orang masih berjibaku dengan macetnya jalanan selepas berkantor, Jono Terbakar malah membuat sebuah gigs. Bertempat di kantor Cherry Pop, acara dimulai ba’da Ashar.

Satu hari sebelum acara tersebut, kami sudah saling bertemu di basecamp Olski. Dia memang baru pulang ke Jogja karena ada tugas penelitian dari kantornya, makanya menyempatkan waktu sekalian untuk memainkan sebuah pertunjukan. Di basecamp, Selain aku, ada juga mas Diki yang memang sudah janjian untuk bertemu dengan Jono Terbakar. Niat awal meminjam gitar, berlanjut jadi obrolan panjang. Dimulai dengan bertanya tentang kabar dan kesibukan, Sakit pinggang dan Zamatera, berujung tentang kehidupan spiritual. 

Dalam obrolan itu, aku melihat  bagaimana Jono memiliki perjalanan panjang dalam mendalami spiritualitas. Di sekitar tahun 2012, dia sempat hilang dalam peredaran scene di Jogja. Dalam pertemuan hari itu, Jono bercerita tentang pertemuannya dengan beberapa kelompok pengajian hingga dia menentukan satu titik, bahwa musik itu haram. Tapi, batin dia ternyata goyah dan kembali lagi untuk bermusik. Dia merasa bahwa ada nalar yang membuat musik itu menjadi haram dalam keadaan tertentu, tapi ada juga musik yang menjadi sebuah obat atau penenang bagi beberapa orang. Case-nya, di tahun 2014, dia bercerita tentang sebuah lagu berjudul ‘Ranu Kumbolo’, salah satu lagu yang juga jadi favoritku. Dalam ceritanya, jono bertemu dengan seseorang di sebuah rumah sakit di Jogja. Orang itu tiba-tiba mendatanginya dan berterimakasih atas karya yang sudah dia ciptakan. Lirik ‘mati juga kehidupan’ di lagu inilah yang menemani orang tersebut disaat pasangannya kritis dan akhirnya berpulang.

Akhir-akhir ini juga, dia mulai mengikuti beberapa forum spiritualitas. Sebut saja Abah Isa, seorang filsuf muda yang mengajarkan tentang mindfulness. Tentang bagaimana hidup itu bisa berjalan lebih baik dan seimbang dengan kedamaian yang sudah terbentuk. Selain ikut di forum ini, dia juga belajar ke beberapa padepokan dan tempat lain. Saya tau bahwa Jono adalah orang yang memiliki keinginantahuan yang besar. Tasawuf merupakan metode yang selalu dia terapkan untuk melihat sesuatu dengan prespektif lebih dalam. Oleh karenanya dia melakukan banyak hal tersebut, sebagai pemuas rasa penasarannya untuk menemukan sumber yang paling valid.

Sore itu, beberapa part lagu dinyanyikan, mungkin 8-9 lagu dengan durasi acara hampir 1,5 jam. Setiap selesai 1 lagu, dia lalu bercerita panjang lebar. Kuakui dia memang pencerita ulung, dan punya selera komedi yang cukup baik. Setidaknya bagiku. Aneh memang. Matahari juga tampak menikmati pertunjukan sore itu. Semua berjalan menyenangkan, hingga akhirnya ‘Tualang’ dimainkan. 

Lagu ini menurutku adalah cerminan apa yang Jono jalankan selama ini. Setiap verse yang dimulai kata ‘Pernahkah’, seperti sebuah pertanyaan yang berdasar pada keingintahuan dia melihat apapun itu. Lalu dilumat dengan halus semua pertanyaan itu dibagian reff, bahwa apa yang kamu lakukan untuk mencari jawaban dari keingintahuan itu bukan semata-mata tentang penghargaan saja, tapi supaya kamu bisa melihat apapun dari prespektif yang berbeda.

Yah, memang sudah seharusnya juga seperti itu. Dasar manusia memang harus terus belajar dan mencari sesuatu agar menjadi lebih tahu dalam banyak urusan. Bukan untuk mencari siapa yang menang dan kalah, tapi supaya kamu bisa menjadi damai dalam jalan pikiranmu seperti perjalanan ma’rifat yang dilakukan Jono Terbakar. “Rahayu, Rahayu, Rahayu”, Tutupnya sore itu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Articles