Setelah sukses menembus tangga lagu alternatif AS, Culture Wars kembali dengan karya yang lebih personal. Dalam obrolan bersama Koloni Gigs, vokalis Alex Dugan bercerita tentang makna di balik single terbaru mereka, tur Asia yang padat, hingga pesan hangat untuk para fans di Indonesia.
Band asal Austin, Culture Wars, baru aja ngerilis single terbaru berjudul “Bittersweet.”
Lagu ini jadi babak baru dari perjalanan band yang dikenal dengan gaya collective rock penuh emosi dan atmosfer stadion.
Di “Bittersweet”, Alex Dugan memamerkan range vokal yang dinamis dan ekspresif, berpadu dengan hook menggelegar yang menyimpan keresahan mendalam—ciri khas Culture Wars yang bikin lagu mereka terasa megah sekaligus intim.
Rilisan ini hadir setelah tahun yang luar biasa bagi band beranggotakan lima orang tersebut.
Selain sempat berbagi panggung dengan nama-nama besar seperti Keane, Wallows, dan LANY, mereka juga berhasil menembus Top 20 Radio Alternatif AS lewat lagu “It Hurts”, serta meraih lebih dari 8 juta streaming global untuk “Typical Ways.”
Buat Alex, “Bittersweet” bukan cuma lagu baru, tapi refleksi pribadi.
“Saya merasa diri saya perlahan-lahan menjadi semakin dewasa,” ujarnya.
“Konsep ‘Bittersweet’ berpusat pada menerima keseimbangan hidup yang nggak selalu berjalan sesuai keinginan kita. Kadang kita dapetin apa yang kita mau, tapi nggak dengan cara yang kita bayangkan. Dan itu ya… hidup. Bittersweet.”
Dari Jakarta ke Dunia: Obrolan Bareng Alex Dugan
Beberapa bulan lalu, Culture Wars sempat mencuri perhatian saat tampil di Jakarta, membuka panggung untuk LANY dan Maroon 5. Buat Alex, pengalaman itu jadi sesuatu yang membekas banget.
“Everything was new,” katanya sambil senyum. “New place, new experiences… kami ngerasain semuanya untuk pertama kali.”
Yang paling dia inget justru momen kecil yang berubah jadi simbol besar buat perjalanan band-nya.
“Waktu pertama kali datang bareng LANY, kami lewat Beach City International Stadium di Ancol. Aku bilang dalam hati, ‘Suatu hari kita bakal main di situ.’ Aku nggak nyangka empat bulan kemudian, beneran kejadian.”
Bisa tampil di stadion sepak bola, katanya, jadi semacam full-circle moment — momen ketika mimpi lama akhirnya terwujud.
Dari Opening Act ke Headline Show
Tur berikutnya akan membawa Culture Wars ke Amerika Serikat dan London, kali ini bukan lagi sekadar opening act.
“Kami lagi bersiap buat headline shows kami sendiri,” ujar Alex. “Udah lama banget kami nggak manggung sendirian, dan banyak hal berubah dari tahun lalu.”
Mereka bahkan punya sold-out show pertama. “It’s a new thing for us,” katanya. “Kami ngerasa beruntung, senang, dan super excited.”
Kalau dulu mereka cuma tampil 30 menit, kali ini mereka main satu jam penuh.
“Fokusnya sekarang gimana caranya kasih show yang solid buat orang-orang yang udah ngeluarin waktu dan uang buat nonton kami.”
Bangun keseluruhan headline show ternyata nggak mudah. “We’re overworked,” ujarnya sambil tertawa, “tapi kami siap buat main dan ngelakuin semuanya sebaik mungkin.”
Musik yang Membentuk Culture Wars
Saat ditanya siapa yang paling mempengaruhi gaya bermusik mereka, Alex langsung menyebut New Order.
“Waktu pertama kali nonton mereka live, rasanya kayak otakku diputar ulang,” katanya. “It totally changed the way I saw music.”
Dia juga menyinggung pengaruh besar dari Oasis.
“Nonton mereka di tur terakhir benar-benar ngebentuk cara pandangku tentang musik dan hidup,” ujarnya.
Dan dengan semangat khas penggemar sejati, Alex menambahkan, “Aku baru aja nonton Paul McCartney dua hari lalu, dan itu luar biasa banget. I love The Beatles!”
Ritual Sebelum Naik Panggung
“Dulu kami punya kebiasaan mouth taping sebelum show — literally, nutup mulut pakai plester biar fokus,” kata Alex sambil tertawa.
“Tapi sekarang udah lebih sehat: minum air elektrolit, pakai vocal moisturizer, dan biasanya kopi yang super kuat atau minuman energi.”
Dia juga selalu nyempetin doa kecil sebelum tampil.
“Orang datang ke show kami udah ngeluarin waktu dan uang, jadi aku pengin kasih mereka yang terbaik,” ujarnya.
Lalu menutup santai, “And yeah, I can get drunk on my own time.”
Dream Festival Wishlist
Waktu nama Coachella disebut, Alex langsung ngakak.
“Coachella itu festival anak-anak LA banget,” katanya. “Kami dari Austin, jadi aku lebih pengin main di Austin City Limits (ACL).”
Walau bukan penggemar berat festival, dia tetap punya daftar impian: Corona Capital Festival dan Tecate Pa’l Norte di Meksiko, Busan Rock Festival di Korea, Summer Sonic di Jepang, dan tentu saja Glastonbury.
“Mungkin mereka kasih kami waktu dulu buat jadi lebih besar,” ujarnya dengan senyum tipis. “Biar nanti kami bisa main di sana juga.”
Saat aku menyebut Lalala Fest — festival yang juga pernah menampilkan LANY di Indonesia — Alex tertawa, “Oh right, Lalala Fest! That looks fun!”
Pesan untuk Fans Indonesia
Sebelum wawancara berakhir, Alex menyampaikan pesan hangat untuk penggemar di Indonesia.
“Make sure to stay tuned! Follow Instagram kami biar nggak ketinggalan info tur berikutnya. Kami berencana buat balik lagi ke sini, dan kami nggak sabar buat ketemu semua orang lagi.”
Tentang Musik Indonesia dan .Feast
Saat ditanya soal band Indonesia, Alex mencoba mengingat beberapa nama.
“Oh man, kami sempat dengar beberapa waktu itu, tapi aku lupa namanya,” katanya jujur. “Ada satu yang kami suka banget, tapi aku bakal cari lagi daftarnya nanti.”
Aku lalu menyarankan Alex untuk mendengarkan .Feast, salah satu band alternatif terbesar di Indonesia.
Dia langsung buka laptopnya dan tersenyum, “Alright, got it. Cool!”
“Aku bilang ke dia, ‘Kau harus dengerin .Feast — genrenya mirip sama Culture Wars, dan mereka salah satu nama besar di sini.’”
Alex mengangguk, “Can’t wait to check them out.”
Culture Wars terus membuktikan bahwa mereka bukan cuma sekadar band yang lewat, tapi musisi yang benar-benar menikmati proses — dari manggung di stadion Ancol, tur dunia, sampai menemukan musik lokal yang menginspirasi di setiap langkah.
Dan seperti yang Alex bilang di akhir wawancara,
“We’ll be back soon.”

